Jumat, 21 Agustus 2020

Transjakarta D21, Menyusuri Kemacetan Orang Depok

Oh iya, gue naik bus ini sebelum pandemi COVID-19 soalnya semangat menulis gue selama internship sempet hilang karena jaga dan males, salah satu penyakit yang obatnya cuma ada di diri sendiri. He he he.

Oke. Kali ini, Gue mau review perjalanan gabut di kampung halaman, Jakarta, sambil nunggu jadwal internsip keluar. Selain buat bakar kalori walaupun gak banyak, gue juga males bawa kendaraan pribadi karena jalanannya semakin macet dan lebih boros uang. Maklum, belum punya pekerjaan tetap.

Gue iseng coba naik bus Transjakarta low entry yang banyak beredar di ibu kota. Ide ini muncul mendadak setelah gue pulangin mobil bokap ke kampus tempat ngajarnya di sekitar Fatmawati. Awalnya, gue mau naik MRT dari Stasiun Fatmawati ke Dukuh Atas, lalu naik KRL dari Sudirman ke  Tebet. Namun, semua itu berubah saat ada sebuah bus berwarna oranye lewat sambil membunyikan klakson dan gue relfeks melambaikan tangan tanda mau naik. Bus itu adalah Transjakarta D21 rute Lebak Bulus-Universitas Indonesia (UI). Tujuan gue adalah Stasiun Tanjung Barat supaya bisa naik KRL ke rumah. Bus yang melintasi salah satu rute kusut di Jakarta ini gak terlalu rame saat gue naik, sekitar delapan orang penumpang.

Bus ini keren menurut gue, bus ini akan miring ke kiri saat naik-turun penumpang. Bus-bus sebelum ini di Jakarta belum pernah ada yang bisa kayak ini. Adanya miring ke kiri karena penumpangnya terlalu banyak gelantungan di pintu. Ha ha ha. Bus ini berhenti di setiap perhentian yang berlogo Transjakarta atau nama kerennya halte non-BRT. Jangan coba-coba naik atau turun sembarangan kalau naik Transjakarta, gak akan dikasih. Zaman udah berubah, Bro. Busnya aja berubah jadi lebih bagus, masa kalian enggak. Ha ha ha. Rute bus ini sebenarnya adalah pengumpan menuju Stasiun MRT Lebak Bulus. Menurut gue, bus ini agak memutar arah kalau tujuannya ke Sudirman atau HI walaupun menggunakan Moda Raya Terpadu (MRT). Sebelum ada bus ini, ada bus PPD 54 rute Depok-Grogol yang warna busnya putih dengan livery kuning. Namun, bus itu menghilang seiring perkembangan zaman dan usia bus semakin tua.

Foto Busnya, diambil dari Halte BRT Transjakarta Lebak Bulus

Bus ini juga bisa jadi pengumpan menuju stasiun KRL menuju Bogor dan Jakarta. Bus ini beroperasi setiap hari mulai pukul 05.00-21.00. Kalian pantau pakai aplikasi Trafi aja biar gak repot buat deteksi bus ini ada di mana. Bayarnya cukup Rp3.500,00 aja, sama kayak naik bus Transjakarta dari halte Bus Raya Terpadu (BRT). Bedanya, penumpang gak bisa oper ke bus Transjakarta lain di halte BRT Lebak Bulus karena halte bus ini terpisah dengan bus lainnya, seperti Transjakarta 6H, 7A, 8, S21, dan S22. Bus ini bisa gue katakan ngegembel di jalan dengan acuan rambu bus stop. Kalau kalian mau oper ke bus tersebut, kalian harus bayar Rp3.500,00 lagi di pintu masuk halte BRT. Aneh juga, padahal Transjakarta 7A yang pake bus low deck bisa naik-turun penumpang di halte itu.  

Gue duduk di kursi belakang dekat tangga baris pertama. Cara bayar tiket busnya masih model lama, yakni kondektur datengin penumpang sambil bawa mesin Electronic Data Capture (EDC) portabel dan sebundel tiket. Sebenarnya, ada dua buah mesin EDC di dalem bus ini yang letaknya di pintu masuk dan keluar bus. Namun, mesin itu gak ada yang dipake sepanjang perjalanan alias cuma pajangan. Anehnya lagi, mesin EDC yang dibawa kondektur cuma bisa baca satu macam kartu uang elektronik yang dikeluarkan salah satu bank BUMN. Keadaan ini bisa diatasi dengan bayar tunai atau cash di atas bus, gak praktis sekaligus keren aja sih walaupun masih ada untungnya. Untung masih bisa naik busnya. Ha ha ha.

Bus ini halus banget sepanjang perjalanan ke Stasiun Tanjung Barat. Sesekali masih suka rem mendadak dan salip kanan-kiri walaupun gak berbahaya buat gue pribadi. Gak berbahaya di sini adalah gak sampe menimbulkan kecelakaan, bahkan korban jiwa. Setidaknya, bus ini lebih aman daripada bus kota masa lalu. Hampir setiap halte berhenti karena ada penumpang yang akan naik. Bus ini jadi penuh walaupun semua penumpangnya masih bisa duduk manis sambil ngadem. Bus ini mulai sepi penumpang yang naik setelah Rancho Indah. Wajar sih karena banyak angkot yang satu rute dengan bus ini, bahkan angkotnya bisa sampai Depok. Gue pernah naik bus ini juga sampai Stasiun Lenteng Agung, penumpang lebih banyak turun mulai dari Stasiun Tanjung Barat untuk menghindari macet di sepanjang jalan menuju Depok. Cara memberhentikan bus ini gampang, tinggal pencet tombol merah yang ada di sepanjang tiang di dalam bus walaupun tombol ini beberapa bus suka ngambek alias gak nyala. Sopir akan berhenti di bus stop terdekat. Bus ini sering penuh kalau pagi walaupun gue belum pernah naik langsung dari UI, beberapa kali pernah lihat dari kereta aja. Maklum lah, bus ini banyak lewat perkantoran di sepanjang jalan T. B. Simatupang dan Taman Margasatwa Ragunan walaupun gak sampai pintu masuk. RSUD Pasar Minggu juga dilewati bus ini.

Bus ini juga keliling kampus Universitas Indonesia (UI) sebelum berangkat ke Lebak Bulus. Sama halnya dengan Transjakarta 4B, bus ini keliling kampus UI sebelum ke Manggarai dan tarifnya nol rupiah alias gratis sebagai gantinya Bikun alias bus kuning. Kabar Transjakarta akan menggantikan Bikun ini udah lama gue tau, mungkin ada lah setengah tahun lalu. Rencananya, akan ada tiga rute baru Transjakarta yang masuk ke lingkungan kampus UI, yaitu 4B, D21, dan dua rute lain ke Kampung Rambutan lewat Tanjung Barat dan Raya Bogor, tapi dua rute terakhir gak pernah kedengeran kabarnya sampai detik ini.

Menurut informasi yang gue cari di Mbah Google, Rute bus ini sebenarnya sampai Jatijajar, tapi dipotong sampai UI karena pemerintah Kota Depok gak kasih izin bus ini masuk Depok. Mungkin walikotanya sibuk bikin lagu buat ditaro di persimpangan yang suka macet kali ya. Ha ha ha. Padahal, Transjakarta D11 bisa masuk pakai bus PPD yang pool-nya kebetulan ada di Depok. Kalau gue jadi Walikota Depok, gue bersyukur banget ada bus dari Jakarta yang mau masuk Depok untuk angkut penumpang meskipun Jalan Margonda Raya macet setiap hari tak kenal waktu. Bus itu juga bisa kontrol jumlah angkot yang beredar di jalan itu. Setidaknya, bus lebih tenang di jalan ketimbang angkot yang sering kejar setoran dan rawan menyebabkan kecelakaan di jalan, bahkan rawan kejahatan. Saingan bus ini tinggal satu sepanjang jalan T. B. Simatupang, Si Ungu Deborah yang sering lewat pagi dan sore hari aja. Bus ini hampir gak punya pesaing karena Deborah masuk tol dari Pondok Pinang sampai Lenteng Agung.

For your information:

1.  1. Bus ini udah seluruhnya menggunakan uang elektronik untuk transaksi setiap penumpang seiring dengan semakin banyaknya orang yang terinfeksi Coronavirus. Setiap penumpang menempelkan uang elektronik ke mesin EDC di pintu depann dan menempelkan kembali saat keluar di pintu tengah khusus pengguna Jaklingko (bener gak sih? Koreksi kalau salah. He he he. Saat gue naik tahun lalu, bus ini masih menerima transaksi tunai karena mesin EDC hanya bisa transaksi menggunakan uang elektronik salah satu bank BUMN.

2.   2. Jam operasional bus ini sebelum pandemi COVID-19 adalah setiap hari pukul 05.00-21.00. Saat ini, bus hanya berjalan di hari kerja pukul 05.00-10.00 dan 14.00-22.00.