Senin, 22 Agustus 2011

Trans-Jakarta Koridor 9, Menikmati Pelayanan atau Mendatangkan Masalah?

Hampir satu tahun bus Trans-Jakarta koridor 9 wara-wiri Pinang Ranti-Pluit PP. Ada yang senang dengan adanya bus ini, dan ada pula yang tidak senang termasuk gue. Enaknya naik busway sih bisa pindah koridor tanpa beli tiket lagi, punya jalan sendiri sehingga perjalanan lebih cepet, dan sebagainya. Tapi, ada nggak enaknya juga. Kalo sore (apalagi pas bulan Ramadhan), jalur khususnya sering diserobot sepeda motor dan bus kota, kedatangannya yang nggak pasti, jumlah orang yang melebihi kapasitas penumpang yang menyebabkan sulit bergerak dan bernafas, terkadang busnya mogok, dan sebagainya. Hal ini justru menimbulkan masalah baru terhadap transportasi massal di DKI Jakarta. Parahnya lagi, bus kota yang bersinggungan dengan jalur busway dilarang beroperasi.

Misalnya bus Mayasari Bakti P.6 dengan rute Kp. Rambutan-Grogol dan bus PPD 46 dengan rute Cililitan-Grogol. Bus ini sudah tidak terlihat sejak pengoperasian Trans-Jakarta karena rutenya bersinggungan dengan koridor 9. Apabila mereka nekat beroperasi, maka busnya akan disita oleh pihak Dishub. Padahal, armada busway tidak sebanding dengan bus-bus yang dilarang beroperasi tersebut.

Setelah beberapa bulan tak beroperasi, akhirnya ada beberapa bus yang nekat beroperasi karena mereka harus mencari uang untuk makan sehari-hari. Misalnya bus Mayasari Bakti P.2 dengan rute Kp. Rambutan-Grogol dan P.55 dengan rute Kp. Melayu-Grogol. Tetapi, inti dari rute tersebut adalah Cililitan-Grogol karena sesampainya di Cililitan semua penumpang turun dan tak ada penumpang yang naik menuju Kp. Rambutan. Biasanya bus ini mangkal bersama PPD 45 di dekat perempatan UKI. Tarifnya berkisar antara Rp 2000 sampai Rp 3000. Lumayan murah untuk rute yang cukup panjang. Fasilitas yang diberikan emang pas-pasan, tetapi kelebihan bus ini adalah bisa dapet tempat duduk. Sedangkan, naik Trans-Jakarta belum tentu dapet tempat duduk. Beberapa dari bus ini lewat tol dalam kota karena keadaan bus sangat penuh dan penumpang ingin cepat sampai di tempat kerjanya. Selain itu, waktu tempuh bus ini lebih cepat daripada busway. Nggak percaya? Silahkan coba sendiri.

Karena tak berani beroperasi, beberapa armada PPD 46 yang tidak disita menggantikan armada P.67 (Blok M-Senen via Cikini) yang tidak layak jalan. Ada pula rute yang "reinkarnasi", yaitu P.41 (Kp. Rambutan-Harmoni via Manggarai). Tetapi, kenyataannya hanya sampai Pancoran saja karena tidak ada yang naik sampai Harmoni. Bus ini biasanya mangkal di perempatan Pancoran Tugu. Ada juga yang mangkal di Cililitan dan Stasiun Cawang. Ternyata, bus ini masih banyak peminatnya biarpun hanya melayani rute Cililitan-Pancoran saja. Mungkin karena lebih praktis dibandingkan busway yang harus naik tangga menuju halte.

Seharusnya pihak Dishub memertimbangkan keadaan di lapangan sebelum mencabut rute bus kota. Karena bus kota adalah transportasi massal yang sangat diperlukan walaupun bersinggungan dengan koridor busway. Kenyataannya, banyak penumpang yang (terpaksa) menunggu di halte busway karena bus yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang. Apalagi di saat pulang kerja, jalur busway sering 'dibombardir' oleh sepeda motor dan mobil pribadi yang membuat perjalanannya terhambat. Sebenernya, tanpa busway kemacetan bisa diurai. Hanya saja, caranya bukan seperti itu.

Sekian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar